Darisekian banyak komentar-komentar tentang bid'ah, ana jadinya bingung tentang apa-apa saja yang termasuk bid'ah sesungguhnya. Afwan, ana masih terlalu awan untuk memahami semuanya. Tapi, ana mau menjalani semua syari'at islam dengan sempurna (walau nggak akan sempurna sepenuhnya)tentunya disandarkan pada al-Qur'an & al-Hadist shahih.
TanyaJawab Seputar Bid'ah. By Dindin Nugraha. 18 Januari 2018. 0. 5733. Bagikan. Facebook. Twitter. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk mayit, pasti tetap kami laksanakan
Jawaban2: Memahami dengan benar [المصالح المرسلة] "al-masholihul mursalah". Yang mendukung bid'ah hasanah kurang paham, sehingga menggiranya adalah bid'ah. Memang keduanya hampir mirip yaitu sama-sama kelihatannya hal yang baru dalam agama. Tetapi hakikatnya al-masholihul mursalah ada dalilnya dalam syariat. Bagi yang
sH895. [Bagian Pertama dari 4 Tulisan]Saudaraku yang semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah, seringkali kita mendengar kata bid’ah, baik dalam ceramah maupun dalam untaian hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Namun, tidak sedikit di antara kita belum memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan bid’ah sehingga seringkali salah memahami hal ini. Bahkan perkara yang sebenarnya bukan bid’ah kadang dinyatakan bid’ah atau sebaliknya. Tulisan ini -insya Allah- akan sedikit membahas permasalahan bid’ah dengan tujuan agar kaum muslimin bisa lebih mengenalnya sehingga dapat mengetahui hakikat sebenarnya. Sekaligus pula tulisan ini akan sedikit menjawab berbagai kerancuan tentang bid’ah yang timbul beberapa saat yang lalu di website kita tercinta ini. Sengaja kami membagi tulisan ini menjadi empat bagian. Kami harapkan pembaca dapat membaca tulisan ini secara sempurna agar tidak muncul keraguan dan salah paham. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang ISLAM TELAH SEMPURNASYARAT DITERIMANYA AMALPENGERTIAN BID’AHAGAMA ISLAM TELAH SEMPURNASaudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah kita renungkan hal ini pada firman Allah Ta’ala,الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” QS. Al Ma’idah [5] 3Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah– berkata tentang ayat ini, “Inilah nikmat Allah azza wa jalla yang tebesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang beliau shallallahu alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang beliau shallallahu alaihi wa sallam haramkan.” Tafsir Al Qur’an Al Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3SYARAT DITERIMANYA AMALSaudaraku –yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.” QS. Al Kahfi [18] 110Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” HR. Muslim no. 1718Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir lahir. Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al QohirohBeliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual mantuq, hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit mafhum, hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tidak tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor syari’at, maka amalan tersebut sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam yang bukan ajaran kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya berada dalam koridor syari’at. Oleh karena itu, syari’atlah yang nantinya menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77-78Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.[Definisi Secara Bahasa]Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al Arobiyah-Asy SyamilahHal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ“Allah Pencipta langit dan bumi.” QS. Al Baqarah [2] 117, Al An’am [6] 101, maksudnya adalah mencipta membuat tanpa ada contoh firman-Nya,قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ“Katakanlah Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” QS. Al Ahqaf [46] 9 , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. Lihat Lisanul Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah[Definisi Secara Istilah]Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalahعِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُSuatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat tanpa ada dalil, pen yang menyerupai syari’at ajaran Islam, yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat tradisi.Adapun yang memasukkan adat tradisi dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalahطَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِSuatu jalan dalam agama yang dibuat-buat tanpa ada dalil, pen dan menyerupai syari’at ajaran Islam, yang dimaksudkan ketika melakukan adat tersebut adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah. Al I’tishom, 1/26, Asy SyamilahDefinisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,وَالْبِدْعَةُ مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ“Bid’ah adalah i’tiqod keyakinan dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ kesepakatan salaf.” Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy SyamilahRingkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar RoyahSebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, sedikit muqodimah mengenai definisi bid’ah dan berikut kita akan menyimak beberapa kerancuan seputar bid’ah. Pada awalnya kita akan melewati pembahasan apakah setiap bid’ah itu sesat?’. Semoga kita selalu mendapat taufik pembahasan selanjutnya Mengenal Seluk Beluk BID’AH 2 Adakah BID’AH HASANAH?***Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Dimuroja’ah oleh Ustadz Aris Munandar Artikel
Oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama’ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata “inilah sebaik-baik bid’ah …. dst”. Jawabannya. Pertama. Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman “Artinya Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih”. [An-Nuur 63]. Imam Ahmad bin Hambal berkata “Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa”. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata “Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar”. Kedua. Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar maskawin dengan firman Allah, yang artinya ” … sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak …” [An-Nisaa 20] bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar. Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya. Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu anhu menentang sabda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid’ah “Inilah sebaik-baik bid’ah”, padahal bid’ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam “Setiap bid’ah adalah kesesatan”. Akan tetapi bid’ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid’ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri. Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu anha berkata “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail bersama para sahabat tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda “Artinya Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya”. [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]. Jadi qiyamul lail shalat malam di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Namun disebut bid’ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya secara berjama’ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu’minin Umar Radhiyallahu anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid’ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid’ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid’ah untuk menyatakan perbuatan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah. Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam “Setiap bid’ah adalah kesesatan ?”. Jawabnya Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid’ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah “Sarana dihukumi menurut tujuannya”. Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat. Firman Allah Ta’ala. “Artinya Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. [Al-An’aam 108]. Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang. Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar’i, maka pembangunannya adalah diperintahkan. Jika ada pula yang mempertanyakan Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. “Artinya Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti meniru perbuatannya itu ..”. “Sanna” di sini artinya membuat atau mengadakan. Jawabnya Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula “Setiap bid’ah adalah kesesatan”. yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala atau sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyatakan “man sanna fil islaam”, yang artinya “Barangsiapa berbuat dalam Islam”, sedangkan bid’ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan “sunnah hasanah”, berarti “Sunnah yang baik”, sedangkan bid’ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid’ah. Jawaban lainnya, bahwa kata-kata “man sanna” bisa diartikan pula “Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah”, yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “sanna” tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan. Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda. “Artinya Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti meniru perbuatannya itu ..”. Dari sini, dapat dipahami bahwa arti “sanna” ialah melaksanakan mengerjakan, bukan berarti membuat mengadakan suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau “Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan”, yaitu “Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik”, bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau “Kullu bid’atin dhalaalah”. [Disalin dari buku Al-Ibdaa’ fi Kamaalisy Syar’i wa Khatharil Ibtidaa’ edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor – Jabar] Sumber Filed under Sunni
pertanyaan tentang bid ah